Surat Edaran Jaksa Agung yg Mendukung Korupsi

neraca keadilanBeberapa hari yang lalu, Metro TV mengangkat Editorial Media Indonesia dengan topik Surat Edaran Jaksa Agung bernomor B-113/F/Fd.1/05/2010 yang ditujukan kepada seluruh kejaksaan tinggi, yang isinya berseberangan dengan semangat pemberantasan korupsi.

Melalui surat itu, korps Adhyaksa dihimbau agar dalam kasus dugaan korupsi, jika terdakwa koruptor  dengan kesadarannya sendiri telah mengembalikan kerugian keuangan negara, yang nilai korupsinya kecil, perlu dipertimbangkan untuk tidak ditindaklanjuti proses hukumnya.

Bagaimana mungkin Kejaksaan sebagai salah satu tonggak penegak hukum, justru melakukan perbuatan yang membebaskan para koruptor. Surat Edaran tersebut akan semakin menyuburkan perilaku korup, karena pejabat negara yang bermental korup tentu akan berfikir, “Kalau begitu, bisa kita akali, jika mau korupsi, nilainya yang kecil-kecil saja, syukur-syukur tidak ketahuan, kalaupun ketahuan, toh tinggal kita kembalikan saja kepada negara, beres perkara, kita tidak perlu menjalani hukuman.”

Kasus korupsi yang dinilai kecil dalam isi surat edaran tersebutpun tidak jelas berapa batasannya ? Tapi,  sekecil apapun nilainya, tetap saja harus ada sanksi hukum.  Bukankah Nenek Minah yang tanpa ijin memetik  3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antanpun  harus diganjar 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan ? Padahal, nenek Minah seorang  yang miskin, dan tujuannya  memetik buah kakao itu untuk dijadikan bibit yang akan dikembangbiakkan di lahannya sendiri.

Pengembalian harta hasil korupsi karena kesadaran sendiri dari tersangka atau terdakwa koruptor, mestinya tidak menghapuskan hukuman, tetapi bisa meringankan atau mengurangi hukuman, karena kita menghargai keberanian, kejujuran dan itikad baiknya dalam mengembalikan harta milik negara.

Justru, pejabat Kejaksaan Agung yang mengeluarkan surat edaran tersebut mestinya diusut dan dihukum.

Tinggalkan komentar